Kamis, 08 Oktober 2009

Ali bin Abi Thalib

Ali bin Abi Thalib
(Sang Gerbang Ilmu)

Pria paruh baya ini bernama Ali bin Ziyad Al-Haritsi. Yang membedakannya dengan rakyat biasa adalah, dia saudagar kaya raya di masa kekhalifahan keepat, Ali bin Abi Thalib. Satu hari, dia egundang Khalifah Ali berkunjung ke rumahnya. Sang Khalifah memnuhi perintaan tersebut
Sesapaminya di rumah pengundang, Amir Al-Mukminin terkagum melihat kemewahan rumah Ala. Ali yang istananya sangat sederhana itu menghormati kemewahan tersebut, “Wahai Ala, apa untungnya memiliki rumah
yang lebih besar dan lebih mewah kelak di akhirat?”
Semula Ala menduga menantu Nabi SAW, itu biasa hidup mewah di istana karena kedudukannya sebagai khalifah. Tapi sahabat Ala teryata bukanlah “orang dunia”. Kekuasaan yang digenggamnya tidak lebih dari sekadar sarana untuk beribadah kepada Allah. Dia menguasai dunia, tapi tidak dikuasai dunia. Perubahan teradi pada diri Ala. Amir Al-Mukminin tahu betul ekspresi peruahan itu. Apalagi dia tahu bila Ala medapatan kekayaannya melalui jerih payahnya sendiri, bukan dari kolusi, korupsi da nepotise(KKN)
Khalifah Ali lalu menyampaikan pesan, “Wahai Ala, engkau bisa menjadikan rumahmu yangbesar ini sebagai kedaraan yang akan mengantarkanmu ke rumah yag lebih besar di akhirat kelak.” “Bagaimana caraya, wahai Amir Al-Mukminin?” respon Ala
“engkau buka rumahu untuk para tamu yang menghajatkannya, kat sulaturahim di adtara kaum muslin, bela, dan tampakkan hak-hak kaum muslimin di rumahmu, jadikan rumah ini sebagai tempat pemenuhan hajat saudara-saudara sesama islam, dan jangan batasi hanya untuk kepentingan dan keserakahan dirimu semata. :tak lama setelah itu, Ala pun mengikuti apa yang dinasihatkan oleh Khalifah Ali tersebut.
Ali bin Abi Thalib merupakan Khalifah terakhir (35-41 Hijriah/655-661 Masehi) dari kekuasaa Khulafa Al-Rasyidin (empat pemimpin terpilih pasca Nabi SAW, yakni: Abu Bakr, Umar bin Khaththab, Utsman, dan Ali). Untuk kategori anak-anak (generasi muda), Ali dikenal sebagai orang pertaa yang masuk isla. Serta Muslim kedua setelah Khadijah binti Khuwalid, istri Nabi SAW.
Dari segi nasab (keturunan), Ali masih sepupu Muhammad SAW. Dari garis bapak. Ayahnya, yakni Abul-Muthalib bin Hasyim bin Abdul-Manf, adalah kakak kandung ayah Nabi SAW. (Abdulah bin Abdul Muthalib). Sementara ibunya bernaa Fatiah binti Asad bin Hasyi bin Abdul anaf. Ketika lahir ibuya member nama Haidarah, namun sang ayah kemudian menggantinya dengan Ali.
Ketika berusia 6 tahun, Ali diasuh oleh Nabi SAW, seperti halnya sang Nabi pernah diasuh orangtua Ali. Saat Muhammad diangkat rasul, usia Ali baru 8 tahun. Sejak masuk islam itu dia tak pernah absen menyertai Nabi SAW. Menyebarkan risalah kedamaian dan keadilan. Tak heran bila kemudian Ali dikenal sangat dekat degan Rasulallah. Kedekatan itu semakin erat degan dinikahinya Fatimah Al-Zahra—salah seorang putri Nabi SAW. Yang kala itu berusia 15 tahun – oleh Ali.
Dari pernikahan pertamanya ini, Ali dikaruniai dua putra dan dua putri : Hasan, Husein, Zaidab, da Umu Kulsum. Anak terakhir, Ummu Kulsum, kelak menjadi istri Umar bin Khaththab, Khalifah kedua. Keseluruhan anak Ali berjumlah 19 orang, dari sembilan kali pernikahannya.
Sejak kecil, Ali dikenal dengan kecerdasanya. Sampai-sampai Muhammad SAW mamuji Ali dengan kalimat, “Saya adalah ibu kota ilu pengetahuan dan Ali adalah gerbangnya.” Ali kecil juga sudah menunjuka keberaniannya yang luar biasa. Dia misalnya, berani menantang tokoh-tokoh Quraisy yang mencemooh Muhammad SAW.
Ketika sang Nabi SAW. Ini hijrah dan kaum Quraisy enghunus pedang untuk membuhnuhnya, Ali tidur di tempat tidur Nabi Muhammad serta menggunakan antel yang dipakai Rasul kala itu. Nabi pun selaat dari maut.
Dimedan perang dia dikenal sebagai panglia dan pertempur yag sagat handal dan disegani. Peperagan Badar, Uhud, da Khndaq menjadi saksi keberania seorang Ali. Amanya semakin sering dipuji setelah dia berhasil menjebol gerbang benteng Khalibar yang mejadi pertahanan terakhir kaum Yahudi. Menjelang rasul menunaikan haji, Ali ditugasi melaksanakan misi militer ke Yaman. Misi itu dilakukanya dengan baik.

WASIAT IMAM ALI

Dua menantu Nabi SAW. Utsman bin Affan (khalifah ketiga), dan Ali bin Abi Thalib (khalifah keempat), memiliki keistimewaan tersendiri, yang pertama seorang kaya raya tapi dermawan, dan lainya, Ali sederhana tapi tegas dan kaya ilmu. Sebutan Nabi SAW. Bahwa Ali Gerbang ilmu, bukti pengakuan Rasulallah atas penguasaan ilmu Ali. Tak heran bila Ali juga dikenal ahli hukum dan ujtahid yang dariya selalu keluar pencerahan-pencerahan ilmiah dan spiritualitas.
Seagai “mata air” hikmah, Ali banyak ewasiatkan kepada umat islam akan kehidupa, baik dalam memenuhi hajat profannya (material) maupun sakralnya (akhirat). Daam satu kesempatan misalnya, dia bertutur soal hubungan manusia dengan sang Khaliq. Katanya, “Barang siapa telah memperbaiki hubungannya dengan Allah, maka dia akan memperbaiki hubungannya degan orang lain, dan barang siapa telah memperbaiki urusan akhiratnya, maka dia akan memperbaiki urusan dunianya.”
Ali juga menganjurkan kita berpikir dan merenungkan kembali informasi yang kita terima. “Renungkanlah berita yang kau degar secara baik-baik (da jangan hanya menjadi penukil berita). Penukil ilmu sangatlah banyak dan perenungnya sangat sedikit.
Cobaan atau fitnah di asa Khalifah Ali tak kalah hebatnya dengan fitnah-fitnah saat ini. Agar tidak terjerumus dan terjebak dalam kubangan fitnah, kepada para sahabatnya Ali berpesan, “Ketika fitnah berkecambuk, jadikanlah dirimu seperti “Ibnu Labun” (anak unta yang belum berumur dua tahun), karena dia masih belum memiliki punggung yang kuat utuk dapat ditunggaingi dan tidak memiliki air susu untuk dapat diperah.
Begitu pun pandangannya soal mausia yang lemah. Di mata satu-satunya khalifah islam yang bergelar “imam” ini, orang lemah bukan mereka yang tak berdaya enghadapi lawan, tak berharta, atau tidak memiliki keduduka. Tapi, “orang yang paling lemah adalah mereka yang tidak dapat menjalin tali persahabatqan dengan orang lain, dan lebih lemah darinya adalah orang yang mudah melepaskan persaudaraan dengan sahabatnya.” Ujar Ali, sebagaiman dinukil dalam Nahjul Balaghah.
Di bagia lain wasiatnya, Ali enegaskan, “Akan datang kepada manusia suatu masa yang tidak tertinggal dari Al-Quran kecuali tulisannya dan dari isla kecuali namanya. Pada masa itu masjid-masjid di makmurkan bangunannya sedangkan dia sendiri kosong dari hidayah, orang-orang yang menghini dan memakmurkannya dalah yang paling jahat di muka bumi. Fitnah bersumber dari mereka dan segala kesalahan kembali kepada mereka.
Orang-orag korban fitnah dan telah bertobat, akan dipaksa kembali dan orang-orang yang tertiggal dibelakang ( tidak ikut serta dalam klaifah fitnah) akan dirayu agar bergabung dengannya. Allah berfirmah, “Demi zat ku, akan Kukirim untuk mereka sebuah fitnah (cobaan) besar yang akan menjadikan orang-orang sabar bingung menentukan sikap.” Kita emohon kepad-Nya untuk mengampuni kealpaan yang mebuat kita tergelincir.”(-)……………..

Read More ..

Jumat, 02 Oktober 2009

'Aisyah'

Dialah ‘Aisyah bintu Abi Bakr ‘Abdillah bin Abi Quhafah ‘Utsman bin ‘Amir bin ‘Amr bin Ka’b bin Sa’d bin Taim bin Murrah bin Ka’b bin Lu’ay al-Qurasyiyyah at-Taimiyyah al-Makkiyyah Radhiyallahu ‘Anha. Dia seorang wanita yang cantik dan berkulit putih sehingga mendapat sebutan al-Humaira’. Ibunya bernama Ummu Ruman bintu ‘Amir bin ‘Uwaimir bin ‘Abdi Syams bin ‘Attab bin Udzainah al-Kinaniyyah. Dia lahir ketika cahaya Islam telah memancar, sekitar delapan tahun sebelum hijrah. Dihabiskan masa kanak-kanaknya dalam asuhan sang ayah, kekasih Rasulullah Sholallahu ‘Aliaihi Wasallam, seorang sahabat yang mulia, Abu Bakr ash-Shiddiq Radhiyallahu ‘Anhu.

Belum tuntas masa kanak-kanaknya ketika datang pinangan Rasulullah Sholallahu ‘Aliaihi Wasallam. Usianya baru menginjak enam tahun saat Rasulullah Sholallahu ‘Aliaihi Wasallam melaksanakan akad pernikahan
dengannya. Wanita mulia yang diperlihatkan oleh Allah Subhanahu Wata’ala kepada Rasulullah Sholallahu ‘Aliaihi Wasallam dalam wahyu berupa mimpi untuk memberitakan bahwa dia kelak akan menjadi istri beliau.

Dilaluinya hari-hari setelah itu di tengah keluarganya hingga tiba saatnya Rasulullah Sholallahu ‘Aliaihi Wasallam menjemputnya –tiga tahun kemudian, seusai beliau kembali dari pertempuran Badr – untuk memasuki rumah tangga yang dipenuhi cahaya nubuwwah di Madinah. Tidak satu pun di antara istri-istri beliau yang dinikahi dalam keadaan masih gadis kecuali ‘Aisyah Radhiyallahu ‘Anha.

Seorang wanita yang mulia, sabar bersama Rasulullah Sholallahu ‘Aliaihi Wasallam di tengah kefakiran dan rasa lapar, hingga terkadang hari-hari yang panjang berlalu tanpa nyala api untuk memasak makanan apa pun. Yang ada hanyalah kurma dan air.

Seorang istri yang menyenangkan suaminya yang mulia, menggiring kegembiraan ke dalam hatinya, menghilangkan segala kepayahan dalam menjalani kehidupan dakwah untuk menyeru manusia kepada Allah.

Allah Subhanahu Wata’ala memberikan banyak keutamaan baginya, di antaranya dengan meraih kecintaan Rasulullah Sholallahu ‘Aliaihi Wasallam. Kecintaan yang tak tersamarkan, tatkala Rasulullah Sholallahu ‘Aliaihi Wasallam menyatakan hal itu dari lisannya yang mulia, hingga para sahabat pun berusaha mendapatkan ridha Rasulullah Sholallahu ‘Aliaihi Wasallam dalam hal ini. Siapa pun yang ingin memberikan hadiah kepada beliau biasa menangguhkannya hingga tiba saatnya Rasulullah Sholallahu ‘Aliaihi Wasallam berada di tempat ‘Aisyah. Di sisi lain, ada istri-istri Rasulullah Sholallahu ‘Aliaihi Wasallam, wanita-wanita mulia yang tak lepas dari tabiat mereka sebagai wanita. Tak urung kecemburuan pun merebak di kalangan mereka sehingga mereka mengutus Ummu Salamah untuk menyampaikan kepada Rasulullah Sholallahu ‘Aliaihi Wasallam agar mengatakan kepada manusia, siapa pun yang ingin memberikan hadiah, hendaknya memberikannya di mana pun beliau berada saat itu.

Ummu Salamah Radhiyallahu ‘Anha pun mengungkapkan hal itu saat beliau berada di sisinya, namun beliau tidak menjawab sepatah kata pun. Diulanginya permintaan itu setiap kali Rasulullah Sholallahu ‘Aliaihi Wasallam datang kepadanya, dan beliau pun tetap tidak memberikan jawaban. Pada kali yang ketiga Ummu Salamah Radhiyallahu ‘Anha mengatakannya, beliau menjawab, “Janganlah engkau menggangguku dalam permasalahan ‘Aisyah, karena sesungguhnya Allah tidak pernah menurunkan wahyu dalam keadaan diriku di dalam selimut salah seorang pun dari kalian kecuali ‘Aisyah.”

Kemuliaan demi kemuliaan diraihnya dari sisi Allah Subhanahu Wata’ala. Dari banyak peristiwa yang dialaminya, Allah Subhanahu Wata’ala menurunkan ayat-ayat-Nya. Suatu ketika, ‘Aisyah turut dalam perjalanan Rasulullah Sholallahu ‘Aliaihi Wasallam. Rombongan itu pun singgah di suatu tempat. Tiba-tiba ‘Aisyah Radhiyallahu ‘Anha merasa kalungnya hilang, sementara kalung itu dipinjamnya dari Asma’, kakaknya.

Rasulullah Sholallahu ‘Aliaihi Wasallam pun memerintahkan para sahabat yang turut dalam rombongan itu untuk mencarinya. Terus berlangsung pencarian itu hingga masuk waktu shalat. Akan tetapi ternyata tak ada air di tempat itu sehingga para sahabat pun shalat tanpa wudhu’. Tatkala bertemu dengan Rasulullah Sholallahu ‘Aliaihi Wasallam, mereka mengeluhkan hal ini kepada beliau. Saat itulah Allah Subhanahu Wata’ala menurunkan ayat-Nya tentang tayammum.

Melihat kejadian ini, Usaid bin Hudhair Radhiyallhu Anhu mengatakan kepada ‘Aisyah, “Semoga Allah memberikan balasan kepadamu berupa kebaikan. Demi Allah, tidak pernah sama sekali terjadi sesuatu padamu kecuali Allah jadikan jalan keluar bagimu dari permasalahan itu, dan Allah jadikan barakah di dalamnya bagi seluruh kaum muslimin.”

Satu peristiwa penting tercatat dalam kehidupan ‘Aisyah. Allah Subhanahu Wata’ala menyatakan kesucian dirinya. Berawal dari kepulangan Rasulullah Sholallahu ‘Aliaihi Wasallam dari pertempuran Bani Musthaliq yang ‘Aisyah Radhiyallahu ‘Anha turut dalam rombongan itu. Di tengah perjalanan, ketika rombongan tengah beristirahat, ‘Aisyah Radhiyallahu ‘Anha pergi untuk menunaikan hajatnya. Namun ia kehilangan kalungnya sehingga kembali lagi untuk mencarinya. Berangkatlah rombongan dan ‘Aisyah tertinggal tanpa disadari oleh seorang pun. ‘Aisyah menunggu di tempatnya semula dengan harapan rombongan itu kembali hingga ia tertidur.

Saat itu muncullah Shafwan ibnul Mu’atthal Radhiyallahu ‘Anhu yang tertinggal dari rombongan Rasulullah Sholallahu ‘Aliaihi Wasallam. Melihat ‘Aisyah, dia pun beristirja’ (Mengucapkan Innalillahi Wa inna ilaihi Rajiun -red) dan ‘Aisyah terbangun mendengar ucapannya. Tanpa mengatakan sesuatu pun dia persilakan ‘Aisyah Radhiyallahu ‘Anha untuk naik kendaraannya dan dituntunnya hingga bertemu dengan rombongan.

Kaum munafikin yang ditokohi oleh ‘Abdullah bin Ubay bin Salul menghembuskan berita bohong tentang ‘Aisyah Radhiyallahu ‘Anha. Berita itu terus beredar dan mengguncangkan kaum muslimin, termasuk Rasulullah Sholallahu ‘Aliaihi Wasallam, sedang ‘Aisyah sendiri tidak mendengarnya karena dia langsung jatuh sakit selama sebulan setelah kepulangan itu. Hanya saja ia merasa heran karena tidak menemukan sentuhan kelembutan Rasulullah Sholallahu ‘Aliaihi Wasallam selama sakitnya sebagaimana biasa bila dia sakit.

Akhirnya berita bohong itu pun sampai kepada ‘Aisyah melalui Ummu Misthah Radhiyallahu ‘ANHA. ‘Aisyah pun menangis sejadi-jadinya dan meminta izin kepada Rasulullah Sholallahu ‘Aliaihi Wasallam untuk tinggal sementara waktu dengan orang tuanya. Beliau pun mengizinkan.

Sementara itu, wahyu yang memutuskan perkara ini belum juga turun sehingga Rasulullah Sholallahu ‘Aliaihi Wasallam meminta pendapat ‘Ali bin Abi Thalib dan Usamah bin Zaid Radhiyallahu ‘Anhuma dalam urusan ini. Beliau pun menemui ‘Aisyah Radhiyallahu ‘Anha, mengharap kejelasan dari peristiwa ini.

Di puncak kegalauan itu, dari atas langit Allah menurunkan ayat-ayatnya yang membebaskan ‘Aisyah Radhiyallahu ‘Anha dari segala tuduhan yang disebarkan oleh orang-orang munafik. ‘Aisyah Radhiyallahu ‘Anha, wanita mulia yang mendapatkan pembebasan Allah Subhanahu Wata’ala dari atas langit.

Dia melukiskan keadaannya pada waktu itu, “Demi Allah, saat itu aku tahu bahwa diriku terbebas dari segala tuduhan itu dan Allah akan membebaskan aku darinya. Namun, demi Allah, aku tidak pernah menyangka Allah akan menurunkan wahyu yang dibaca dalam permasalahanku, dan aku merasa terlalu rendah untuk dibicarakan Allah di dalam ayat yang akan melihat mimpi yangrdibaca. Aku hanya berharap, Rasulullah dengannya Allah membebaskan diriku dari tuduhan itu.” Ayat-ayat itu terus terbaca oleh seluruh kaum muslimin hingga hari kiamat di dalam Surat an-Nuur ayat 11 beserta sembilan ayat berikutnya.

Wanita mulia ini menjalani hari-harinya bersama Rasulullah Sholallahu ‘Aliaihi Wasallam hingga tiba saatnya beliau kembali ke hadapan Allah Subhanahu Wata’ala. Delapan belas tahun usianya, saat Rasulullah Sholallahu ‘Aliaihi Wasallam wafat di atas pangkuannya setelah hari-hari terakhir selama sakit beliau memilih untuk dirawat di tempatnya. Beliau pun dikuburkan di kamar ‘Aisyah Radhiyallahu ‘Anha.

Sepeninggal beliau, ‘Aisyah Radhiyallahu ‘Anha menyebarkan ilmu yang dia dapatkan dalam rumah tangga nubuwah. Riwayatnya banyak diambil oleh para sahabat yang lain dan tercatat dalam kitab-kitab. Dia menjadi seorang pengajar bagi seluruh kaum muslimin.

Keutamaan dari sisi Allah banyak dimilikinya, hingga Rasulullah Sholallahu ‘Aliaihi Wasallam menyatakan, “Keutamaan ‘Aisyah atas seluruh wanita bagaikan keutamaan tsarid2 atas seluruh makanan.” Bahkan Jibril menyampaikan salam padanya melalui Rasulullah Sholallahu ‘Alaihi Wasallam.

Tiba waktunya ‘Aisyah Radhiyallahu ‘Anha kembali kepada Rabb-Nya. Wanita mulia ini wafat pada tahun 57 Hijriah dan dikuburkan di pekuburan Baqi’. Ilmunya, kisah hidupnya, keharumannya namanya tak pernah sirna dari goresan tinta para penuntut ilmu. Semoga Allah meridhainya.

Wallahu ta’ala a’lamu bish-shawab.

Sumber bacaan:
1. Fathul Bari Syarh Shahih al-Bukhari Al-Hafidz Ibnu Hajar al-’Asqalani
2. Syarh Shahih Muslim Al-Imam an-Nawawi
3. Al-Ishabah fi Tamyiz ash-Shahabah Al-Imam Ibnu Hajar al-’Asqalani
4. Siyar A’lamin Nubala’ Al-Imam adz-Dzahabi
5. Shahih as-Sirah an-Nabawiyah asy-Syaikh Ibrahim al-’Aly

Sumber: www.asysyariah.com
Read More ..